Jumat, 04 Januari 2013

Refleksi TAP MPR No. II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)


Bangsa Indonesia yang berasal dari pulau-pulau yang berada di wilayah Indonesia telah melahirkan Bangsa Indonesia melalui “Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga, Bangsa Indonesia, pada awal mulanya, terdiri dari berbagai suku-suku asli yang ada di wilayah Indonesia dengan adat istiadatnya yang berbeda-beda.

Melihat keberaneka-ragaman perbedaan yang ada didalam Bangsa Indonesia (Suku, Agama, Golongan) maka ketika para pendiri bangsa melanjutkan perjuangannya untuk membentuk sebuah negara, mereka bersepakat membuat rumusan yang dapat mempersatukan berbagaimacam perbedaan tersebut, sehingga terbentuklah suatu rumusan yang disepakati dalam sidang yang diselenggarakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang pada awalnya beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa). Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6. Yang kemudian setelah proklamasi, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 yang berdasarkan pada Pancasila.

Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan hasil kesepakatan bersama para Pendiri Bangsa yang kemudian sering disebut sebagai sebuah “Perjanjian Luhur” bangsa Indonesia, menjadi suatu ideologi pemersatu ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang selain berbeda suku, dan golongan juga merupakan masyarakat komunal religius. Pancasila dapat diterima menjadi ideologi serta dasar Negara karena merupakan suatu rumusan yang digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.

Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno diselenggarakan indoktrinasi operasionalisasi Pancasila dengan menyiapkan bahan yang dikenal sebagai “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi.”. Namun permasalahan yang dihadapi tidak terselesaikan. Bahkan pada masa pemerintahan saat itu, mendapat serangan ideologi yang berasal luar begitu kuat, tidak dapat dilawan hanya berharap pada suatu rumusan Pancasila saja, sehingga puncak dari serangan tersebut ialah oleh situasi kehidupan negara yang terjadi pada pertengahan tahun 1965. terjadinya tragedi nasional, G-30-S/PKI pada tahun 1965, yang kemudian oleh pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, dikatakan bahwa bangsa Indonesia tidak melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen serta perlu untuk membenahi karakter bangsa dengan mengembangkan sikap dan perilaku warga negara sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasarnya yang berdasarkan Pancasila.

Sesungguhnyalah sejarah telah mengungkapkan, bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesiam yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, didalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Menyadari bahwa untuk kelestarian keampuhan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus-menerus penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di Pusat maupun di Daerah.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam Sidang Umumnya, pada tanggal 22 Maret 1978 menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) melalui ketetapan MPR Nomor II Tahun 1978. Dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Seperti yang terdapat dalam Tap MPR pada konsideran menimbang, secara jelas ditekankan dalam huruf a “bahwa Pancasila yang merupakan pandangan hidup Bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia perlu dihayati dan diamalkan secara nyata untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya demi terwujudnya tujuan Nasional serta cita-cita Bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”. Kemudian huruf b menegaskan “bahwa demi kesatuan bahasa, kesatuan pandangan dan kesatuan gerak langkah dalam hal menghayati serta mengamalkan Pancasila diperlukan adanya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”.

TAP MPR yang terdiri dari 6 (enam) pasal ini merupakan suatu kehendak rakyat yang ditetapkan oleh MPR RI sebagai penjelmaan rakyat, yang berperan penting dalam menuntun dan menjadi Pandangan Hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang wajib dipatuhi seluruh masyarakat serta wajib ditindaklanjuti sebaik-baiknya oleh pemerintah bersama dengan DPR.

Dalam pasal 1 dikatakan “bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya”. Selanjutnya dalam pasal 4 kembali ditegaskan bahwa “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.

Jika kita mencermati pasal 1 dan pasal 4 ini, maka dapat kita simpulkan bahwa materi muatan yang ada dalam P4, adalah merupakan Tonggak/kekuatan dari Implementasi Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Karena pedoman ini menjadi penuntun dan pegangan hidup Bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, sehingga segala bentuk perbedaan identitas yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia (Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan) dilebur dan dibentuk menjadi satu pandangan dalam berbangsa/bermasyarakat dan bernegara.

Penyatuan pandangan/pegangan hidup inilah yang kemudian membentuk pola pikir “mindset” bangsa Indonesia menjadi satu, searah, dalam melihat, menilai segala permasalahan dalam berbangsa dan bernegara, yaitu berdasarkan Pancasila. Sehingga terciptalah suatu bangsa yang kuat bersatu dalam perbedaan dan tidak mudah terpecah dengan upaya adu domba dengan menggunakan perbedaan dengan membenturkan nilai-nilai/akidah Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) atau yang populer disebut SARA.

Kemudian TAP MPR No. II Tahun 1978 ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan membentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979. Keputusan Presiden tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 239 tahun 1980, No. 163 tahun 1981, dan No. 86 tahun 1982, tentang pembentukan BP-7 di Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II sehingga di setiap propinsi dan kabupaten dan kotamadya memiliki lembaga yang bernama BP-7 Daerah.
Untuk keperluan penyelenggaraan penataran P-4 bagi masyarakat dikembangkan pola-pola penataran sebagai berikut:
  1. Pola 120 jam, yang dikemudian hari berkembang manjadi pola 144 jam, bagi calon penatar yang akan bertugas di BP-7 daerah tingkat I maupun tingkat II, dan bagi tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan organisasi;
  2. Pola 45 jam, bagi kader-kader organisasi kemasyarakatan;
  3. Pola 25 jam dan pola 17 jam bagi masyarakat pada umumnya; di kemudian hari pola 17 jam dihapus karena dipandang kurang efektif.
  4. Memasuki tahun 1990-an dikembangkan pula pola penataran P-4 yang disesuaikan dengan profesi target audience, yang disebut pola terpadu. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan muatan penataran P-4 dengan berbagai lapangan kerja.
  5. Dengan beberapa modifikasi penataran P-4 pola 120 jam dikembangkan menjadi pola penataran bagi para mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi menjadi penataran P-4 pola 100 jam, pola 45 jam bagi murid klas 1 SLTA, dan pola 25 jam untuk murid klas 1 SLTP.
Penataran pola 120/144 jam menjadi kewenangan BP-7 Pusat, sedang pola yang lain menjadi kewenangan BP-7 Daerah, dan lembaga-lembaga pendidikan. Di samping metoda penataran dikembangkan juga pemasyarakatan P-4 dengan menggunakan modul, metoda simulasi dan cerdas tangkas P-4 yang diselenggarakan baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah.

Muatan P-4 yang terdiri dari Pancasila/P-4, UUD 1945 dan GBHN dikemas dalam bentuk bahan ajar dan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Untuk Sekolah Dasar dan Menengah bahan ajar tersebut diberi nama Pendidikan Moral Pancasila yang kemudian diubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sedang di Perguruan Tinggi menjadi Pendidikan Pancasila. Ketentuan ini dikokohkan dengan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989.

Apabila kita cermati bahwa penataran P-4 lebih dititik beratkan pada pembinaan moral bangsa yang esensinya adalah pengendalian diri. Seorang warganegara diharapkan mampu mengendalikan diri dalam segala aspek kehidupan, diperlukan toleransi yang tinggi, dan tidak mementingkan diri sendiri. Hanya dengan jalan ini maka kebersamaan akan terwujud dalam masyarakat yang pluralistik.

Namun kemudian ketika reformasi bergulir, desakan agenda reformasi yang salah satunya menganggap bahwa P4 melalui sarana pelaksananya yaitu BP7 menjadi alat politik yang dimainkan oleh Orde Baru untuk dapat mempertahankan kekuasaannya selama 32tahun.

Keadaan tersebut memicu timbulnya kelompok-kelompok yang pesimis dan bahkan timbul sinisme terhadap usaha menjadikan Pancasila sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa kelompok tersebut sebenarnya mempunyai maksud terselubung, menginginkan dasar negara yang lain bagi bangsa Indonesia, yang bersifat sektarian murni ataupun sebaliknya yang bersifat murni nonsektarian tertentu. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini tampaknya terjebak oleh pemikiran sesaat yang sempit atau bahkan oleh dorongan perasaan irasional-emosional, sehingga mengingkari kenyataan yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri yakni sebagai masyarakat majemuk, multikultural dan heterogenitas bangsa yang sangat pluralistik.

Salah satu upayanya ialah dengan mendesak pencabutan P4 yang kemudian dikuti dengan pembubaran BP7. Desakan tersebut diakomodir oleh MPR dengan dikeluarkannya TAP MPR No. XVIII Tahun 1998 tentang pencabutan TAP MPR No. II Tahun 1978 tentang P4 yang dalam konsideran menimbang pada huruf a dikatakan “bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditegaskan posisi dan peranannya dalam kehidupan bernegara”.

Jika kita mencermati maksud dari perlunya menegaskan posisi dan perana Pancasila dalam kehidupan bernegara pasca reformasi. Maka penegasan yang dimaksud, terhadap posisi Pancasila bahkan semakin tidak jelas peranannya dalam implementasinya. Terbukti dengan tercabutnya penuntun serta pegangan hidup yang kemudian menjadi cara pandang yang satu, dengan jerih payah membangun, membentuk penyatuan pola pikir “mindset” untuk memiliki cara pandang yang satu dalam melihat segala permasalahan dalam berbangsa dan bernegara, mengakibatkan bangsa Indonesia yang merupakan pondasi Bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi terpecah-belah, sehingga secara fakta pasca reformasi maraknya konflik horizontal yang merupakan konflik Suku, konflik Agama, Ras dan konflik Antar Golongan (SARA).

Kemudian pada konsideran menimbang, huruf b dikatakan “bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) yang materi muatan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara, perlu dicabut”.

Melihat pertimbangan MPR yang dituangkan dalam huruf b, dengan mengatakan bahwa P4 tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara dinilai sangat sempit dalam memahami materi muatan yang ada dalam TAP MPR tersebut. Karena jika dipahami secara mendalam, materi muatan yang ada dalam TAP MPR No. II Tahun 1978 tersebut bersifat universal dan merupakan pengontrol bangsa Indonesia dalam menjalani perkembangan kehidupan bernegara, sehingga tidak terjadi perkembangan kehidupan yang kebablasan dan tidak mengindahkan nilai-nilai atau acuan yang ada dalam Naskah P4 tersebut.

Fakta yang terjadi, perkembangan kehidupan bernegara saat ini sudah sangat keluar dari apa yang diinginkan dalam P4, sebagaimana berfungsi layaknya saringan yang menyaring segala bentuk pola pikir, budaya, karakter yang bukan berasal dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Jika kita melihat kondisi saat ini, masuknya budaya luar atau yang dikenal dengan istilah popular culture, ideologi yang bukan berasal dari nilai-nilai bangsa Indonesia, semakin kuatnya radikalisme, sehingga memunculkan gerakan-gerakan yang semakin mempercepat NKRI masuk kepada babak perpecahan “Disintegrasi”.

Terakhir, dengan tidak adanya penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan seperti yang ditegaskan dalam pasal 4 TAP MPR No. 2 Tahun 1978, yang terjadi adalah sesame penyelenggara Negara konflik, sesama lembaga kenegaraan konflik, sesame lembaga kemasyarakat konflik. Semua itu dikarenakan hilangnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang menjadi penuntun dan pegangan hidup yang mempersatukan cara pandang/pola piker “mindset masyarakat Indonesia dalam melihat, menilai segala sesuatu permasalahan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis :
Victor Santoso Tandiasa, SH
Ketua Umum FKHK

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber :
http://lppkb.wordpress.com/
www.wikipedia.org
TAP MPR No.II/MPR/1978
TAP MPR No. XVIII/MPR/1998
Keputusan Presiden No.10 tahun 1979
Keputusan Presiden No. 85 tahun 1999

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar