Jumat, 25 Januari 2013

Fundamentalisme Pasar dan Fundamentalisme Agama Sebagai Antitesis Ideologi Pancasila

Oleh
Rizal Adhitya Hidayat,SIP,MM
Universitas Esa Unggul



Abstrak :
Fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama hadir menjadi dua ledakan sosial di tengah arus efek globalisasi yang mengantarkan relasi sosial budaya antar negara-bangsa lebih banyak ditentukan oleh kesamaan kepentingan sub-ideologis berbasis kesamaan identitas nilai-nilai, persepsi, keyakinan, sikap, orientasi dan perilaku eksklusif. Dalam hal ini Pancasila sebagai Ideologi negara-bangsa terbatas berlaku hanya dibingkai oleh nilai-nilai falsafah normatif kenegaraan secara intrinsik. Ideologi Pancasila yang selama ini menjadi perekat fundamental keberagaman suku, agama, ras, budaya maupun adat istiadat mengalami degradasi implementasi nilai-nilai intrinsik, instrumental dan praksis yang seakan-akan menjadi ideologi utopia perlawanan semu terhadap kedua bentuk fundamentalisme tersebut di atas. Melalui tiga dimensi kandungan sebuah ideologi negara-bangsa dalam tulisan ini, kita bisa melihat bagaimana fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama menjadi corak baru antitesis ideologi Pancasila, dimana pada akhirnya keduanya merupakan common enemy bagi kelima sila dalam Pancasila yang menjadi soko guru kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia.
 
 
I. PENDAHULUAN
Pancasila sebagai Ideologi nasional Bangsa Indonesia pada hakekatnya merefleksikan tiga dimensi dari sebuah ideologi yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa secara keseluruhan. Dalam pandangan Secara umum, ideologi mungkin dapat diartikan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka (Alfian, 1992:187). Mengikuti pengertian ideologi tersebut, dalam konteks masyarakat yang pluralis dari ragam aspek seperti suku, agama, ras, dan adat istiadat, maka akan melahirkan kemajemukan kelompok kepentingan yang terwujud pada stratifikasi dan klasifikasi kelompok sosial yang berbeda dalam kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya, adat istiadat dan masih banyak lagi yang tentunya memiliki spesifikasi tersendiri akan suatu sistem pandangan, nilai, keyakinan maupun kepercayaan mereka. Masing-masing kelompok kepentingan ini melalui stratifikasi dan klasifikasi kelompok sosial masing-masing berusaha mewujudkan kebutuhan dan keinginannya agar tetap menjadi bagian dari lingkungan sosialnya, baik dalam skala makro ( nasional ) maupun mikro ( lokal ).  Sistem pandangan, nilai, keyakinan maupun kepercayaan yang dimiliki berbagai kelompok kepentingan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia ini disebut sebagai sub ideologi. Jadi ideologi nasional sebenarnya merupakan sintesis dari keseluruhan sub ideologi yang ada sekalipun satu sama lain nampak bertentangan ( anti tesis ), dan merupakan hasil dari konsensus atau kesepakatan bersama ( sintesis ) antar golongan atau kelompok dalam stratifikasi dan klasifikasi masyarakat yang pluralis, seperti masyarakat Indonesia dalam hal ini.
Dalam konteks kemajemukan kehidupan masyarakat Indonesia bersendikan Ideologi nasional yaitu Pancasila, terdapat tiga dimensi idealisme ideologi nasional yang merupakan pencerminan dinamika realitas kontekstual keberadaan sub ideologi dalam mempengaruhi eksistensi integrasi nasional Bangsa Indonesia. Pertama, Ideologi sebagai realita yang hidup dalam masyarakat. Kedua, kemampuan ideologi memberikan harapan kepada kelompok, atau golongan yang ada dalam masyarakat. Ketiga, Kemampuan ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat (ibid : 188-189). Masing-masing dimensi secara idealis akan menjelma ke dalam tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang dicita-citakan bersama. Dalam Ideologi Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia, sebenarnya cita-cita perwujudan ketiga dimensi ideologi tersebut sudah dirumuskan secara ideal melalui  kelima sila dalam Pancasila yang mencerminkan kandungan komitmen persetujuan bersama Bangsa Indonesia akan prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Nasionalisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial.
Dalam konteks fenomenal ini, dimensi ketiga ideologi Pancasila ditekan untuk segera merevitalisasi fungsinya agar selaras dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia modern. Namun pada akhirnya, lebih dari sekedar tuntutan dan kebutuhan untuk merevitalisasi fungsinya, yang muncul di permukaan kehidupan sosial Bangsa Indonesia adalah eksploitasi berbagai pertanyaan seputar esensi dasar dari rasionalitas aktual Ideologi Pancasila dalam konteks dinamika masyarakat Indonesia saat ini. Ketika peran sentralistis negara dipecah ke dalam berbagai desentralisasi peran politik dan ekonomi yang memunculkan otoritas politik lokal dalam bingkai otonomi daerah, maka sebuah fenomena strategis yang mengedepankan ancaman eksplisit disintegrasi nasional yang mewarnai perjalanan demokrasi pasca reformasi 1998. Tantangan tersebut adalah penguatan etnosentrisme dalam kultur politik lokal dengan menguatkan entitas elemen-elemen identitas lokal pembentuk konstelasi politik lokal. Di saat yang bersamaan terdapat dua ancaman fundamental yang menjadi pemicu dari kerawanan terhadap kebaikan bersama, identitas bersama, nilai bersama dan legitimasi kewenangan. Kedua ancaman tersebut adalah pertama, fundamentalisme pasar dan kedua, fundamentalisme agama. Tulisan ini akan terfokus pada pembedahan ancaman Ideologi Pancasila yang bermuara dari fundamentalisme pasar dan agama.

 
II. PEMBAHASAN
Fundamentalisme pasar dan agama menjadi basis kekuatan destruktif integrasi nasional  ke dalam praktik kehidupan sosial Bangsa Indonesia. Indonesia lebih akrab dengan definisi “bukan negara agama, juga bukan negara sekuler”. Definisi tersebut hanya melihat Pancasila dalam kerangka relasi antara agama dan negara. Problem serius Indonesia sekarang adalah mati surinya ideologi. Pancasila diabaikan dalam menyusun kebijakan dan perilaku politik. Ketika negara tidak Pancasilais, rakyatlah yang pertama-tama menderita. Cukup banyak rakyat yang menjadi korban kekerasan karena penguasa tidak tegas memihak kemanusiaan yang adil dan beradab, terutama mereka yang lebih lemah. Negara hanya menjadi pemadam kebakaran sosial, atau lebih buruk lagi penonton. Oleh karena itu, warga pun sulit melihat relevansi langsung antara ideologi dan kenyataan hidup sehari-hari. Publik apatis dengan kesaktian Pancasila, yang seolah-olah hanya sakti untuk menghadapi komunisme pada masa lampau. Bersaing dengan fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama, Indonesia termasuk negara yang mudah berada dalam cengkeraman (soft country) kapitalisme global dan paham keagamaan transnasional. Pancasila sebenarnya cukup ampuh menangkal ideologi asing sebab nilai-nilainya diangkat dari kultur bangsa. Namun, mengacu Driyakarkara, Pancasila tidak boleh hanya berhenti pada nilai-nilai luhur (ideifikasi), tetapi harus diperjuangkan menjadi konkret (idealisasi). Pancasila tidak boleh berhenti pada tataran ide, tetapi harus menjadi cita-cita bersama. Tanpa ideologi yang asertif, Indonesia sulit membendung penetrasi ideologi asing yang membuat Indonesia terpuruk dan sulit bangkit menjadi bangsa besar (Kompas, 1 Oktober 2011).  Selanjutnya oleh karena itu, menjadi Pancasilais bukanlah imbauan moral seperti imbauan agama, meski juga tidak bertentangan, melainkan imperatif kategoris bernegara dan berbangsa. Bangsa Indonesia harus menjadi besar bukan karena agamanya – banyak bangsa juga beragama – melainkan karena hidup sebagai insan Pancasilais, dengan Pancasila sebagai ideologi pembentuk moralitas bangsa. Pancasila seharusnya menentukan perilaku penyelenggara dan warga negara. Jika perilaku negara tidak Pancasilais, sulit mengharapkan warga Pancasilais. Dalam pasar bebas ide, warga akan lebih tertarik dengan ideologi alternatif. Sekularisme, hedonisme, materialisme dan seterusnya. Sebagai ideologi tengah, Pancasila seharusnya menjadi pembeda Indonesia, asalkan nilai-nilainya dihayati secara menyeluruh dan konsisten.

1. Fundamentalisme Pasar
Fundamentalisme pasar berpusat pada determinisme ekonomi sebagai rangkaian dampak inheren arus globalisasi ekonomi-politik dunia ketika perang dingin merobohkan dirinya dalam jajaran tembok Berlin 1989, yang kemudian disusul dengan gelombang euforia Perestroika dan Glasnost Uni Sovyet ( Rusia ). Berdasarkan determinisme ekonomi yang mengedepankan kekuatan mekanisme pasar, maka fundamentalisme pasar menunjuk pada gejala atau upaya programatik untuk menjadikan mekanisme pasar (yaitu transaksi atas dasar harga yang diuangkan) bukan hanya sebagai prinsip pengatur alokasi pemenuhan barang/jasa kebutuhan, tetapi sebagai satu-satunya prinsip/dasar pengatur seluruh bidang kehidupan dalam tatanan bermasyarakat (Priyono, 2011:38). Fundamentalisme pasar berusaha mendeterminasikan struktur kehidupan masyarakat melalui berbagai motivasi pengejaran kepentingan ekonomi individual berdasarkan hukum permintaan dan penawaran yang memaksimalkan peran kebutuhan dan keinginan dengan melegitimasikan radikalisasi prinsip daya beli. Melalui perspektif determinasi ekonomi dunia yang mengedepankan kekuatan mekanisme pasar dalam membentuk satu entitas masyarakat kapitalis global, pengamatan sekilas terhadap globalisasi menunjukkan bahwa “negara-bangsa” tetap menjadi menjadi pemain kunci dalam ekonomi global saat ini. Namun, tinjauan yang lebih radikal terhadap tesis ini menekankan mundurnya negara sebagai badan pembuat keputusan yang otonom.
Kemunduran kekuatan negara sebagai badan pembuat keputusan otonom menghubungkan corak perspektif globalisasi radikal yang mengedepankan fundamentalisme pasar dengan menekankan faktor-faktor berikut ini (Dickens dalam Faulks, 2010:89) :
a.     Perkembangan dan tersedia luasnya teknologi komunikasi berbiaya murah seperti kabel fiber optik, mesin fax, transmisi digital dan satelit, yang berarti bahwa penduduk negara semakin menjadi sasaran “kebudayaan global” yang berada di luar kendali kekuasaan pemerintah.
b.     Kemunculan MNCs ( Multi National Corporations ) yang sekarang mempunyai sumber daya untuk menyaingi banyak negara , namun tidak seperti negara, ia tidak terkungkung batas geografis, dan dengan mudah memindahkan pabrik mereka sesuai perubahan permintaan dan ketersediaan kelebihan lokal  seperti biaya upah murah, pajak usaha rendah, maupun serikat buruh yang lemah.
c.      Semakin mengglobalnya sifat perdagangan, yang membuat negara tidak mampu membuat kebijakan ekonomi yang efektif. Negara semakin harus menjawab faktor-faktor yang berada di luar kontrolnya, seperti desakan MNCs dan fluktuasi pasar finansial dunia. Singkat kata, diakui bahwa pasar dunia dan MNCs menjadi kekuatan lebih digdaya dibandingkan negara dalam urusan internasional, dan bahwa kekuatan-kekuatan baru globalisasi ini tidak bisa diatur secara efektif.
Globalisasi merupakan wahana bagi berkembangnya kapitalisme global. Sedangkan Neo-liberalisme adalah basis ideologi sebagai motor penggerak ekonomi-politik global dalam satu wadah globalisasi ekonomi-politik internasional. Neoliberalisme merupakan basis ideologi paling penting yang memberi legitimasi bagi kapitalisme global. Secara garis besar neoliberalisme adalah semacam pendekatan ideologi ekonomi-politik yang memperjuangkan kesejahteraan umat manusia melalui proses pembebasan individu dari setiap macam kekangan. Kemerdekaan individu dalam hal ini bisa dijamin melalui kerangka kelembagaan yang ditandai dengan pengakuan terhadap hak milik pribadi, pasar bebas dan perdagangan bebas. Pada intinya mengacu kepada pengertian fundamentalisme pasar sebelumnya, maka sebenarnya dengan basis ideologi neoliberalisme, kebijakan-kebijakan ekonomi, industri dan perdagangan menekankan pasar produk dan jasa maupun pasar faktor produksi (modal, tenaga kerja) pada dasarnya bekerja sempurna. Untuk itu campur tangan pemerintah tidak diperlukan karena akan menyebabkan kegagalan pemerintah (Kompas, 26 Mei 2009). Melaului ketiga faktor determinan fundamentalisme pasar di atas, ideologi neoliberalisme eligibel terhadap pandangan kelompok hiperglobalis pendukung kapitalisme global yang juga menekankan serangkaian kegiatan ekonomi dalam segala manisfetasinya dalam bentuk kekuasaan perusahaan-perusahaan berskala transnasional dan multinasional (Winarno, dalam Hidayat, 2010 : 167-168). Kedua kekuatan korporasi ini memiliki kekuatan penggerak untuk mempengaruhi para aktor pembuat keputusan ekonomi-politik dalam ruang lingkup negara, terutama kategori third world countries. Apabila TNCs (Trans National Corporations) memiliki kekuasaan murni berupa aliran modal perusahaan antar lintas negara yang berlokasi di belahan dunia mana saja yang mereka inginkan selama maksimalisasi laba masih dirasakan aman di negara bersangkutan, maka untuk  Multi National Corporations (MNCs) masih berdiri di satu kendali negara pusat dengan cakupan operasi modal global yang mengalir pada beberapa cabang perusahaan. Dengan kata lain, TNCs bisa berdiri di negara mana yang mereka kehendaki dan MNCs tetap berlokasi di satu negara pusat, tapi keduanya memiliki persamaan karakter  gerakan aliran modal perusahaan yang mengalir ke seluruh belahan negara di dunia yang menjadi basis sumber modal keuntungan perusahaan. Keduanya adalah aktor-aktor penting dalam mengintegrasikan pasar nasional ke dalam perekonomian global melalui perdagangan lintas negara, baik dalam bentuk perdagangan antara perusahaan itu sendiri atau perdagangan antar perusahaan dengan pihak luar, dan melalui aliran investasi yang mengalir melintas batas-batas negara nasional. Trend hiperglobalis yang justru berkembang saat ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional dapat menjadi aktor kunci dalam ekonomi global karena mampu melakukan integrasi secara vertikal, konsentrasi modal, organisasi pasar, dan manajemen dalam suatu skala yang dapat membuatnya menginternasional, ke arah ekonomi global dan kemudian memenuhi permintaan-permintaan dari pasar-pasar global. Hal ini disebabkan karena investasi modal dana terbesar perusahaan masih dikendalikan dari pusat, daripada tersebar ke dalam berbagai negara yang belum tentu kebijakan ekonomi-politiknya menguntungkan bagi perusahaan yang bersangkutan, seperti TNCs yang seringkali harus fleksibel terhadap segala benturan kebijakan ekonomi-politik negara yang bersangkutan.
Dengan contoh dari keterlibatan MNCs dalam mempengaruhi konstelasi ekonomi-politik negara, maka fundamentalisme pasar mereduksi peran negara-bangsa dalam menguasai sepenuhnya kebijakan-kebijakan ekonomi-politik pemerintah yang menyangkut legitimasi kewenangan segala sumber daya ekonomi nasionalnya. Ideologi neoliberalisme menampilkan tantangan nyata terhadap kekuasaan negara dengan berusaha mengubah keseimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat sipil. Ada dua prinsip penting yang menjadi pokok perubahan keseimbangan antara negara dan masyarakat sipil : pertama, Superioritas pasar di atas politik dalam menyediakan kebutuhan manusia, menciptakan kesejahteraan dan memajukan kebebasan pribadi. Kedua, Kebutuhan untuk melindungi hak-hak pasar individu, termasuk hak-hak kepemilikan harta, hak menegaskan ketidaksetaraan seseorang, dan hak untuk memilih berbagai macam barang dan jasa di pasar. Dari kedua prinsip tersebut kemudian memunculkan sejumlah kebijakan neoliberalisme yang mencakup :
a.     Deregulasi ekonomi, termasuk semakin terbuaknya perdagangan dan investasi internasional, pengurangan pajak usaha, dan penghilangan hambatan-hambatan birokrasi yang merintangi akumulasi dan profitabilitas swasta.
b.     Pengurangan hak-hak serikat dagang dan penciptaan pasar buruh yang fleksibel, yang bisa menentukan upahnya sendiri.
c.     Pemotongan belanja publik dalam pelayanan sosial seperti kesehatan, kesejahteraan dan pendidikan.
d.     Privatisasi pelayanan publik jika memungkinkan, dan menciptakan pasar buatan yang menerapkan prinsip-prinsip pasar seperti persaingan internal untuk pelayanan, kontrak pihak luar untuk tugas-tugas kerja pelengkap, dan bayaran berdasar kinerja pelayanan lain yang dijalankan negara.
e.     Pendefinisian ulang kewarganegaraan dimana hak sipil dan pasar yang terbatas ditegaskan, dengan mengebawahkan hak-hak masyarakat, dan warga diharapkan mengambil tanggung jawab pribadi yang lebih besar bagi mereka sendiri maupun tanggungannya.
f.      Perlu ditekankan bahwa pengaruh prinsip-prinsip neoliberal tadi tidak berlaku secara seragam oleh negara-negara yang telah dipengaruhi oleh paham neoliberal. Penerapan kebijakan-kebijakan tadi diperantarai oleh faktor-faktor seperti institusi politik dan budaya suatu negara, kekuatan negara dalam sistem ekonomi dunia, juga karakteristik sosial maupun ekonominya.
Sekalipun krisis ekonomi yang bermula dari mega krisis finansial Enron dan Lehman Brothers 2007 (subprime mortgage) menguatkan kembali peran negara dalam meregulasi mekanisme pasar, namun pengaruh fundamentalisme power ideologi pasar neoliberalisme tidak serta merta meredup begitu saja dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Neoliberalisme pada fase ini mengubah secara radikal pemerintah dan masyarakat dengan menekankan pada persaingan, desentralisasi, devolusi, deregulasi dan privatisasi atas industri, tanah dan pelayanan publik, serta mengganti kebijakan-kebijakan yang bersifat welfare menjadi workfarist ( Latif, 2009 : 16 ). Krisis finansial yang berkembang menjadi krisis ekonomi dalam pandangan Robert Reich disebut sebagai Supercapitalism. Supercapitalism adalah sebuah konsep yang menggamabrkan makin menguatnya kompetisi di dunia bisnis dalam memperebutkan konsumen dan investor yang sekarang telah merambah dunia politik. Persaingan bisnis itu mengakibatkan dana dalam jumlah besar mengalir deras dari korporasi dan badan-badan keuangan guna membiayai dan mengarahkan politik dan kebijakan publik untuk kepentingan mereka. Dengan kata lain,” Capitalism has invaded democracy.” Dalam tataran nasional, efek superkalpitalisme sebagaimana ditengarai Reich diyakini bisa berkembang subur di tanah air. Pesta demokrasi yang semarak sesungguhnya tidak lebih dari minus demokrasi. Lebih jauh lagi, salah satu dampak utama penetrasi kapitalisme ke dalam kehidupan berdemokrasi adalah menghilangnya warga Negara.
Menghilangnya warga negara yang dimaksud adalah memudarnya kepemilikan identitas nasional suatu bangsa yang berangkat dari keragaman pluralitas nilai-nilai identitas bersama, kebaikan bersama, nilai bersama dan legitimasi kewenangan dalam lingkup negara-bangsa. Dengan menghilangnya warga Negara, posisi Ideologi Pancasila berada di titik kerawanan yang mengesahkan disfungsi ketiga dimensi ideologi yang menyebabkan terjadinya di-integrasi nasional yang berdampingan dengan penetrasi identitas budaya konsumerisme Bangsa Indonesia. Benjamin Barber pernah memperlihatkan bagaimana kapitalisme berbentuk budaya konsumerisme membahayakan demokrasi. Menurut Barber, ekonomi kapitalis sekarang, selain membagi dunia ke dalam kubu berada dan tak berada, juga menumbuhkan etos baru ( ibid : 20 ).  Etos baru tersebut berangkat dari satu prinsip dasar etos pengerdilan (infantilization) sebagai basis ekonomi konsumeris berdasarkan kebutuhan yang diciptakan. Masyarakat konsumeris akan membenturkan kapitalisme dan demokrasi, sehingga kapitalisme, menurut Barber, “Sepertinya secara harfiah akan mengonsumsi dirinya sendiri, meninggalkan demokrasi dalam bahaya dan nasib warga negara dalam berdemokrasi setidaknya dilakukan melalui empat cara. Pertama, mengerdilkan konsumen dengan mengedepankan hal-hal yang gampang dan mudah dicapai ketimbang hal-hal yang harus dicapai dengan susah payah; yang sederhana di atas kerumitan, dan yang segera di atas perlahan-lahan. Kedua, memprivatkan warga negara sehingga “aku” berprioritas di atas “kita”. Ideologi privatisasi, menurut Barber, menempatkan pilihan sebagai hal mendasar bersifat pribadi, bukan menentukan “kehendak bersama” tetapi sebatas kumpulan dan rerata dari keinginan pribadi; muncul “civil schizophrenia” bersamaan dengan penolakan atas segala yang “civic” maupun “public”. Ketiga, pemerekan identitas. Branding recognition menggantikan identitas religious dan komunal – orang diidentifikasi melalui merek barang yang dikonsumsi ketimbang identitas religious ataupun etnisitasnya. Pendek kata, “inauthenticity becomes a kind of simulated authenticity”. Dan “makna” menjadi kehilangan makna. Keempat, meminjam mazhab Frankfurt, kelahiran totalitarianisme konsumer melalui penyerbuan semua aspek kehidupan manusia oleh korporasi akan mengakibatkan runtuhnya keberagaman dan munculnya totalitarianisme baru.

Gambar :
Operasi Kekuatan Neoliberal


 
 
2. Fundamentalisme  Agama
Fundamentalisme agama adalah gejala atau upaya programatik menjadikan doktrin agama tertentu sebagai satu-satunya dasar dan prinsip pengaturan seluruh bidang kehidupan masyarakat. istilah seluruh bidang mencakup berbagai urusan yang menyangkut hukum,  ketatanegaraan, ekonomi, budaya, pendidikan, keyakinan, relasi sosial, bahkan urusan cara berpakaian dan tata cara pergaulan (Priyono, 2011:37).
Ketika agama berhadapan dengan kenyatan-kenyataan empiris yang bertolak belakang dari tujuan horisontal ideal agama ( tujuan yang mengatur kehidupan antar umat beragama), maka  agama justru menjadi landasan pembenaran radikal ideologis dan simbolis. Radikalisasi pembenaran ideologis dan simbolis agama akan menyebabkan konflik horisontal, anarki, atau kekerasan kolektif yang merealisasikan doktrin agama sebagai satu-satunya dasar dan prinsip pengaturan seluruh bidang kehidupan masyarakat. Agama yang kongkrit adalah yang dihayati oleh pemeluknya dengan sistem ajaran, norma moral, institusi, ritus, simbol, para pemukanya. Semua unsur yang memberi wajah kongkrit agama ini bisa mengkristal dalam bentuk penafian terhadap yang berbeda, maka sangat rentan terjadi pertentangan. Pertentangan bisa terjadi di antara dua agama yang berbeda dalam wujud konflik horisontal, atau kekerasan kolektif yang mengatasnamakan agama atas dasar nilai-nilai tertentu  yang bertentangan secara etika dan moral atas dasar sistem ajaran, institusi dan keyakinan pemeluknya.
Terkait dengan agama yang merangkum berbagai pemeluknya ke dalam berbagai kelompok sosial. Pada intinya setiap kelompok sosial berusaha untuk mempertahankan eksistensinya dengan mempertahankan identitas asli nilai atau norma yang mendiferensiasikannya dengan kelompok lain, dan cenderung akan menolak perbedaan yang ada. Perbedaan akan dianggap sebagai pengaruh yang mengancam eksistensi kelompok tersebut. Fundamentalisme agama berangkat dari satu titik doktrin agama, bahwa agama bersangkutan adalah satu-satunya dasar dan prinsip pengaturan seluruh bidang kehidupan masyarakat. Jika memang demikian, sejauh mana doktrin tersebut bisa beradaptasi dengan kondisi plural bangsa Indonesia dikaitkan dengan pembenaran agama terhadap sebab-sebab tindakan kekerasannya sendiri ? sebuah postulat sementara tentang hal ini menyatakan agama lebih berperan fungsi ideologisnya sebagai pembenaran kekuasaan dan landasan simbolis kekerasan. Peran guru agama atau pemimpin agama sangat besar di dalam menanamkan kebencian terhadap pemeluk agama alain dan menolak untuk menerima yang berbeda. Di dalam interaksi komunikasi, pemaknaan sangat ditentukan oleh kerangka penafsiran . Mereka sangat menentukan dalam memberi kerangka penafsiran untuk melihat realitas dan hubungan dengan umat beragama lain. Tugas mereka seharusnya untuk menunjukkan wajah damai agama, penerimaan pluralitas dan toleransi. Namun ketika penafsiran menjadi sangat politis dan penuh kepentingan, peran guru dan pemuka agama itulah yang sebetulnya sangat menentukan. Maka masuknya kepentingan politik  bukan suatu cara berpikir yang dipaksakan, tetapi merupakan kelanjutan atau perpanjangan dari cara berpikir yang telah ditanamkan oleh para guru dan pemuka agama. Perbedaan yang ditekankan untuk memberi corak identitas dimanfaatkan untuk kepentingan diri atau kelompok (Haryatmoko, 2010:83-84).
Upaya memahami kaitan agama dan politik menyentuh tiga mekanisme pokok yang menentukan : pertama, kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologi). Agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sejauhmana suatu tatanan sosial dianggap representasi religius, yang dikehendaki Tuhan.  kedua, agama sebagai faktor identitas. Agama sebagai faktor identitas dapat didefinisikan sebagai kepemilikan pada kelompok sosial tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir dan ethos. Ini lebih kental lagi jika dikombinasikan dengan identitas etnis : Aceh Muslim, Flores Katolik, Bali Hindu. Pertentangan etnis atau pribadi bisa menjadi konflik antar agama. Faktor identitas ini sekaligus berfungsi sebagai kapital sosial bila dilihat dari perspektif Bourdieu karena merupakan jejaring atau sumber daya berkat kepemilikan pada agama yang sama, lalu menjadi aktor perekat yang bisa menumbuhkan kepercayaan dan solidaritas, meski di sisi lain juga menjadi alat diskriminasi. ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme yang ketiga ini bukan sakralisasi hubungan sosial, tetapi suatu tatanan sosial mendapat dukungan dari agama. Dalam konteks ini, formalisme agama menjadi unsur penting di dalam penghayatan karena terkait dengan masalah pengakuan sosial dan kebanggaan pada kepemilikan kelompok. Maka butuh penamaan dari suatu sistem sosial, ekonomi dan budaya dengan jargon-jargon agama yang akan semakin meningkatkan fanatisme pemeluknya. Ketika fundamentalisme agama berangkat dari titik tolak kerangka penafsiran religiusnya terhadap hubungan sosial, agama sebagai faktor identitas dan agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial, yang berhadapan dengan kerumitan problematika pembangunan ekonomi dan ketimpangan problem struktural sistem politik, maka yang timbul kemudian adalah kelahiran politik radikalisme agama.
Politik radikalisme yang dibawa oleh fundamentalisme agama akan menuntut pembentukan basis-basis hubungan antar kelompok sosial dalam suatu negara berdasarkan ideologi yang memuat penafsiran religius, faktor identitas dan legitimasi etis agama yang bersangkutan. Dampak signifikan terpenting terhadap integrasi nasional adalah terpisahnya berbagai identitas yang masing-masing memuat sub-ideologi yang berperan penting dalam strukturisasi tindakan sosial.Kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari strukturisasi tindakan sosial yang dijelaskan oleh Anthony Giddens sebagai interaksi yang berulang dan terpola dalam jangka waktu tertentu dan dalam ruang tertentu akan menghasilkan struktur. Interaksi itu dilakukan oleh pelaku-pelaku dan dibentuk di dalam perilaku subyek pelaku. Interaksi sosial antar pluralitas identitas kebangsaan seperti Indonesia membutuhkan ideologi agar dapat masuk ke dalam sistem politik yang keduanya menjamin integrasi nasional bisa tetap berdiri kokok di atas fondasi negara-bangsa.
Ada tiga bentuk interaksi sosial yang dominan di dalam masyarakat yaitu komunikasi, kekuasaan dan moralitas. Komunikasi makna di dalam interaksi ditentukan oleh kerangka penafsiran. Maka pemaknaan akan apa yang dilakukan dan dikatakan tidak bisa lepas dari kerangka penafsiran tersebut. Kerangka penafsiran ini tidak lepas dari tatanan pengetahuan kognitif yang menjadi struktur pemaknaan suatu komunitas (misalnya : komunitas agama). Sedangkan hubungan kekuasaan sangat ditentukan oleh fasilitas yang dimiliki. Akumulasi kepemilikan fasilitas ini semakin meningkatkan kemampuan di dalam mempengaruhi perilaku pihak-pihak lain atau kemampuan dominasinya ( misalnya : elit politik pemerintahan, guru agama dan pemuka agama). Akhirnya semua tindakan, termasuk kekuasaan, selalu membutuhkan dasar pembenaran. Kerangka ini masuk di dalam interaksi moralitas. Dasar pembenaran tindakan atau kekuasaan ini didapat dari norma (hukum, tradisi, agama, aturan, kebiasaan) atau tatanan yang sah. Ketiga interaksi (komunikasi, kekuasaan, moralitas) dan struktur yang dibentuk (pemaknaan, dominasi, legitimasi) merupakan kesatuan integral, sedangkan pemisahan hanya pada tingkat analisis. Politik radikalisme yang dihasilkan oleh fundamentalisme agama merupakan reaksi umpan balik terhadap memudarnya identitas bangsa Indonesia dari aspek hubungan interaksi (komunikasi, kekuasaan, moralitas) dan struktur yang dibentuk (pemaknaan, dominasi, legitimasi) terhadap kepemilikan identitas nasional suatu bangsa yang berangkat dari keragaman pluralitas nilai-nilai identitas bersama, kebaikan bersama, nilai bersama dan legitimasi kewenangan dalam lingkup negara-bangsa.
Kunci sukses radikalisme adalah kemampuan memberi kepastian dogmatis. Indoktrinasi dogmatis yang diberikan adalah timbulnya ketidakpastian ekonomi global yang melahirkan pengangguran dan ketidakadilan, radikalisme agama menjanjikan ekonomi adil dan persaudaran melalui revolusi moral. Dengan cara ini radikalisme memberi identitas pasti. Bukan hanya memberi janji, namun menjamin; bukan atas dasar analisa, namun melandaskan pada keyakinan. Kemampuan memberi kepastian bahwa kerumitan problematika pembangunan ekonomi dan ketimpangan problem struktural sistem politik menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Kepastian bahwa terdapat ketidakpastian ekonomi global yang melahirkan berbagai macam kondisi yang menciptakan berbagai macam ketimpangan seperti yang terjadi dalam masyarakat Indonesia saat ini. Bermacam-macam ketimpangan yang dikenal adalah ketimpangan dalam pendidikan, ekonomi, kekuasaan, prestise-prestise sosial, perbedaan-perbedaan etnis, agama, dst. Ketimpangan-ketimpangan ini mencakup dimensi-dimensi eksploitasi, represi dan diskriminasi. Bukan hanya jurang yang kaya dan miskin, melainkan juga perlakuan yang tidak sama terhadap berbagai kelompok politis, agama dan suku di Indonesia telah menjadi tempat persemaian konflik-konflik kolektif (Hardiman, 2010:86). Sebagaimana ketimpangan sosial yang menjadi modus operandi fundamentalisme agama. Sikap kolektif, identitas kolektif, kepentingan bersama, bentuk-bentuk ekspresi, ideologi, utopia, organisasi dan mobilisasi bergerak ke arah pergerakan radikalisme ideoligisasi agama di Indonesia yang menjustifikasikan kelemahan atau kekurangmampuan negara dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian fungsi ideologi agama dalam hal ini lebih merupakan jembatan pengantar fundamentalisme agama yang bergerak ke arah radikalisme ideologi agama yang berusaha menanamkan satu persepsi bahwa setiap modus gerakan radikal agama menjanjikan setiap anggotanya kembali hijrah menjadi individu bebas dari nilai-nilai inklusif kewarganegaraan. Daya tarik gerakan radikal terletak dalam kemampuannya menawarkan payung alternatif dalam wadah komunitas yang berdiri terpisah dari masyarakat terbuka (open society) sekitar mereka. Ia muncul mendengungkan seruan terbuka kembali ke identitas dasar dan menyapa mereka yang ingin melakukan hijra (migrasi) internal melindungi diri Dari noda dan godaan dunia luar (Hasan, 2010:15).
Merebaknya berbagai organisasi non formal agama yang berujung pada konflik kekerasan kolektif  (Islam : Majelis Mujahidin Indonesia, Hisbut Tahrir, Gerakan NII, Amadiyah ) memunculkan satu pertanyaan fundamental juga pada akhirnya. Apakah agama selalu menimbulkan kekerasan yang merumuskan ideologi keagamaan vis a vis ideologi negara yaitu Pancasila? Karakter pertanyaan seperti itu  lebih bersifat  utopia ideologis dan retoris. Untuk mengubahnya menjadi pertanyaan ilmiah,  kita harus meninggalkan konsep agama yang elusif. Seperti disebutkan di atas, konsep agama terlalu abstrak sehingga tidak bisa dioperasionalisasikan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, harus membatasi konsep agama pada aktor-aktor agama. Yang dimaksud dengan aktor agama ialah orang yang dibentuk oleh komunitas agama dan yang bertindak dengan maksud untuk menegakkan, menyebarkan, atau mempertahankan  nilai-nilai dan ajaran agamanya. Individu,  kelompok, komunitas, atau bahkan negara yanh raison d’etre dibentuk oleh dan untuk agama kita masukkan dalam kategori aktor agama. Dengan begitu sekarang, kita dapat memilahkan dengan tegas mana tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor agama dan mana yang bukan (Rakhmat, 2011:169). Aktor agama hidup di tengah-tengah sistem sosial dengan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman nenek moyangnya. Perlahan tapi pasti ia menyerap nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan yang yang diterima secara umum. Ia menginternalisasikannya setelah terlibat dengan agen-agen sosialisasi. Seperti sekolah, madrasah, masjid, gereja, media, komunitas dan tokoh-tokohnya. Ada tiga orientasi keagamaan . Ketiganya berkaitan dengan tingkat toleransi akan perbedaan paham, yang pada gilirannya berhubungan dengan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.  Berdasarkan tiga orientasi itu kita mengidentifikasi tiga tipe aktor agama. Ekslusivis, adalah aktor agama yang membangun tembok dan menciptakan sebuah “enclave”, daerah terlindung, yang steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan untuk memahami realitas, dan satu cara untuk menafsirkan teks-teks suci. Secara soteriologis (ilmu tentang keselamatan), ia percaya hanya kelompok dia saja yang akan selamat. Kelompok yang lain dijamin masuk neraka. Sebaliknya Inklusivis, mengakui adanya keragaman tradisi, komunitas dan kebenaran. Semuanya adalah jalan menuju kebenaran. Tetapi agama (baca, paham keagamaan) yang dianutnya tetaplah jalan yang paling lurus, yang paling sempurna, di atas dan mencakup semua paham keagamaan lainnya. Terakhir pluralis, menganggap bahwa kebenaran bukan hanya milik satu tradisi atau komunitas keagamaan. Perbedaan komunitas dan tradisi tidak dianggap sebagai penghalang yang harus dilenyapkan, tetapi sebagai peluang untuk dialog.  Ketiga paham orientasi fundamentalisme agama yang dilakukan oleh aktor-aktor agama tersebut hanya bisa hidup di dalam stateless yang menurut Charles Kimball (When Religions Become Evil, 2002) menyebut lima ciri agama yang sudah berubah menjadi kejahatan (mengacu kepada faktor-faktor/institusi-institusi sekular yang memicu motif tindakan kekerasan seperti kepentingan ekonomi, persoalan etnis, nasionalisme, masalah politik):
a.       Kalau  institusi politik sudah mempercayai kebenaran mutlak (absolute claims)
b.      Menuntut kepatuhan membuta (blind obedience)
c.       Merencanakan masa depan yang gemilang (establishment of ideal times)
d.      Menghalalkan segala cara (ends justify means)
e.      Menyatakan perang suci (declaring holy war) : politik sudah menjadi agama
 
 
III. KESIMPULAN
Dalam konteks dimensi ideologi Pancasila sebagai ideologi nasional, Baik fundamentalisme pasar dan agama mendelegitimasi Kemampuan ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat terpecah ke dalam dua kubu yang saling memperjuangkan eksistensi masing-masing  fundamentalisme tersebut dengan saling berkompetisi demi mempertahankan status quo masing-masing dalam gelombang globalisasi dunia.
Bagi para penganut fundamentalisme pasar, prinsip/dasar fundamentalis yang mengontrol seluruh bidang kehidupan dalam tatanan masyarakat tidak ubahnya seperti sebuah ideologi kontemporer yang mengangungkan privatisasi kebutuhan dan keinginan masyarakat dengan melepas atribut kewarganegaraannya tanpa mau didikte oleh berbagai regulasi negara sebagai aktor pengontrol utama kendali perekonomian masyarakat negara-bangsa. Modus fundamentalisme pasar tersebut lazim disebut dengan ideologi Neoliberalisme yang free fight liberalism. Kehadiran fundamentalisme agama merupakan reaksi umpan balik bagi para penganutnya yang sebenarnya merupakan bagian dari masyarakat yang termaginalkan dari arena kompetisi bebas para individu neoliberalis akibat kurangnya kemampuan daya saing kompetisi mereka sebagai dampak dari ketimpangan struktural kehidupan sosial yang terjadi di tengah arena persaingan pasar ekonomi di atas. Baik para aktor fundamentalisme agama yang eksklusif, inklusif maupun pluralis sebenarnya memiliki pola solusi yang sama ketika berhadapan dengan para fundamentalis pasar. Mereka menggunakan agama sebagai jalan utama perlawanan total terhadap dunia material pasar agar kembali hijrah sebagai komunitas sosial yang menawarkan payung keamanan dunia immateri yang jauh dari berbagai macam godaan nafsu materi globalisasi pasar ekonomi dunia yang sistematis dan integral menjadi sebuah ideologi privatisasi yang menafikan kebersamaan ruang sosial agama sebagai jalan kemaslahatan negara-bangsa.
Kedua bentuk fundamentalisme inilah yang sebenarnya meng-antitesiskan-kann Ideologi Pancasila yang sebenarnya memiliki kandungan ontologis, epistemologis dan aksiologis pertumbuhan dan perkembangan Bangsa Indonesia yang diwarnai dengan benturan politik identitas perbedaan sub-ideologi dalam bentuk agama, budaya, ras maupun etnis. Prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan, Kedaulatan rakyat maupun keadilan sosial menjadi kelima prinsip dasar/sila yang oleh para kaum fundamentalis pasar maupun agama diterminologikan sebagai fungsi ideologi privatisasi eksklusif yang berlaku dalam interpretasi mikro sentris menurut versi mereka sendiri, dan bukan digali dari eksplorasi para founding father Negara-Bangsa Indonesia.


 


Daftar Pustaka

 
A.      Buku :

Alfian. (1992). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia
 
Ali, As’ad Said. (2009). Negara Pancasila : Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta : LP3ES Indonesia
 
Faulks, Keith. (2010). Sosiologi Politik : Pengantar Kritis. Bandung : Nusa Media
 
Hardiman, F.Budi. (2011). Massa, Terror dan Trauma : Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita. Yogyakarta : Lamalera
 
Haryatmoko. (2010). Dominasi Penuh Muslihat : Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta : Gramedia
 
Pustaka Utama


B.      Artikel Dalam Jurnal  :

Hasan, Noorhaidi. (2010). Ideologi, Identitas dan ekonomi politik kekerasan : mencari Model Solusi mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme Di Indonesia. Prisma : Islam dan Dunia – Perjumpaan Di Tengah Perbenturan. LP3ES. Vol.29 (4) : 15
 
Hidayat, Rizal.A. (2009). Quo vadis NeoLiberalisme Terhadap Ketahanan Konstelasi Ekonomi-Politik Indonesia. Jurnal Studi Diplomasi Dan Keamanan. FISIP HI UPN”Veteran” Yogyakarta.  Vol.1 (2) : 167-168

Latif, Yudi. (2009). Requiem Dini, Krisis Finansial dan Krisis Demokrasi. Prisma : Senjakala Kapitalisme dan Krisis Demokrasi. LP3ES. Vol.28 (1) : 16

Priyono, B.Herry. (2011). Dua Nafsu Bertemu : Perihal Kaitan Fundamentalisme Agama dan Pasar. Prisma : Demokrasi Yang Dibajak – Perselingkuhan Negara, Fundamentalisme Pasar dan Agama. LP3ES. Vol 6 (1) : 37

Rakhmat, Jalaluddin. (2011). Benarkah Agama Menyebabkan  Tindakan Kekerasan ?. Prisma : Demokrasi Yang Dibajak – Perselingkuhan Negara, Fundamentalisme Pasar dan Agama. LP3ES. Vol 6 (1) : 169

 
C.      Surat Kabar :

 
Kompas, 26 Mei 2009

Kompas, 1 Oktober 2011

1 komentar: